Friday, February 27, 2009

Sosiologi Hukum

1. Hukum memiliki multi wajah sehingga pendekatan yang dilakukan holistik, mengapa demikian? Jelaskan dengan contoh! Gunakan analisis teori!
Untuk memahami multi wajah hukum dapat dilihat dari dua aliran mengenai konsep hukum, yaitu :
Aliran doktrinal mengkonsepkan hukum sebagai sesuatu yang normologik atau yang berlandaskan pada logika normatif. Konsep ini menampilkan wajah hukum sebagai suatu norma, baik sebagai norma keadilan yang harus diwujudkan (ius constituendum), norma yang telah terwujud sebagai perintah yang eksplisit dan secara positif telah dirumuskan (ius constitutum) guna menjamin kepastiannya, serta norma hasil cipta penuh pertimbangan hakim pengadilan (judgments) dengan memperhatikan terwujudnya kemanfaatan dan kemashlahatan para pihak yang berperkara.
Dalam sudut pandang normologik, tipologi wajah hukum yang muncul adalah :
1. Wajah yang sarat dengan asas moral keadilan,
2. Wajah yang sarat dengan norma yang dipositifkan melalui undang-undang,
3. Wajah yang judgemade atau yang tampil dalam putusan hakim.
Aliran non-doktrinal mengkonsepkan hukum bukan sebagai sesuatu yang normologik, melainkan sesuatu yang nomologik, yaitu logika hukum yang berlandaskan pada nomos (realitas sosial). Konsep hukum ini menampilkan wajah hukum sebagai regularities (pola perilaku) yang terjadi di alam pengalaman dan/atau sebagaimana yang tersimak di dalam kehidupan sehari-hari (sine ira et studio).
Dengan demikan tipologi wajah hukum yang muncul adalah :
1. Wajah hukum yang tampil sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional di dalam sistem kehidupan masyarakat,
2. Wajah hukum yang regularities, yang tampil makna-makna simbolik sebagaimana termanifestasi dan tersimal dalam pola perilaku masyarakat.
Contoh :
Ilustrasi yang dapat ditampilkan dijadikan contoh adalah pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan :
Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

Dalam pasal ini disebutkan mengenai batasan umur minimal untuk dapat menikah. Untuk menaati ketentuan tersebut, masyarakat sebagai sasaran unadang-undang terlebih dahulu harus memahami/mengetahui, bahkan mematuhi isi undang-undang. Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh PSHP Fak. Hukum Unair di Kabupaten Bangkalan menyebutkan pengatahuan kepala desa tentang batasan umur kawin yang benar hanya 25,38%, selebihnya tidak mengetahui dengan pasti batasan umur perkawinan. Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa kebiasaan masyarakat mengawinkan anak di bawah umur 16 tahun tetap dilakukan, sebanyak 64,62% perkawinan di bawah umur ditemukan di sebagian besar desa-desa wilayah Kabupaten Bangkalan.
Temuan di atas mengisyaratkan bahwa untuk memasukkan nilai-nilai yang baru ke dalam masyarakat perlu perubahan sikap dari masyarakat. Di sini kebudayaan yang ada di dalam masyarakat mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting. Itu sebabnya nilai budaya yang ada dalam masyarakat sukar diganti dengan nilai budaya baru dalam waktu singkat, sebab nilai budaya yang ada telah lama diresapi dan dijalankan oleh masyarakat.
Analisis teori yang digunakan adalah teori campuran, tujuan pokok hukum adalah ketertiban, karena ketertiban merupakan syarat bagi adanya suatu masyarakat yang teratur. Artinya, tujuan hukum tidak hanya sekedar keadilan dan kepastian hukum semata, melainkan agar terciptanya ketertiban di dalam masyarakat. Perkawinan di bawah umur 16 tahun bertentangan dengan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, namun di dalam masyarakat juga berlaku hukum lain, seperti hukum adat dan hukum agama. Menurut hukum agama, perkawinan sah bila kedua mempelai telah mencapai akil baligh.
Menurut hukum agama islam, asalkan kedua mempelai masih di bawah umur 16 tahun, tetapi keduanya telah akil baligh maka perkawinan tersebut sah menurut agama. Dengan demikian di sini hukum agamalah yang berlaku. Asalkan hal tersebut tidak melanggar norma dan kebudayaan yang dianut oleh masyarakat, dan terciptanya ketertiban di dalam masyarakat.

2. Apa Apa yang dimaksud paradigma? Mengapa paradigma kekuasaan tidak mampu membaca kebutuhan masyarakat dan kearifan lokal?
Mengenai pengertian paradigma, dapat diambil pendapat dari beberapa tokoh, di antaranya :
a. Menurut Gregory dikatakan bahwa, paradigma adalah berbagai working assumption, prosedur dan temuan yang secara rutin diterima atau diauki oleh sekelompok scholar, yang kesleuruhannya mendefinisikan suatu pola aktivitas ilmiah/ilmu pengetahuan yang stabil, seblaiknay pola ini pada giliranya akan mendifisdikan komunitas (tadi) yang terbagi (memakai) paradigma (yang sama) tersebut,
b. Menurut Patton, paradigma adalah suatu ”suatu set proposisis” yang menjabarkan bagaimana dunia ini dilihat/dipahami. Paradigma mengandung suatu worldview, yakni suatu cara melalui mana kompleksitivitas dunia ini dipecah/dipilah agar mudah dimengerti. Secara umum paradigma menggariskan bagi research apa yang penting apa yang legitimate dan apa yang reasonable.
c. Menurut Neuman, paradigma sesungguhnya serupa dengan ”pendekatan, atau approach maupun tradisi”, dalam kaitanya ini, Neuman menjelaskan paradigma sebagai suatu orientasi dasar terhadap teori dan research. Yaitu keseluruhansistem berfikir atau system of thinking yang meliputi; asumis dasar, pertanyaan yang harus dijawab atau teka-teki (ilmiah) yang hendak dipecahkan, berbagai teknik atau metode penilitian yang kana diterapkan serta beraneka contoh bagaimana sebenarnya penelitian ilmiha yang baik dilakukan.
d. Menurut Masterman, dikatakan paradigma Thomas Kuhn kurang lebih memiliki dua puluh satu cara yang berbeda yang oleh kemudian di bagi menjadi tiga tipe yaitu, yaitu: paradigma metafisik (metaphisical paradigm); Paradigma sosiologis (sosiological paradigm); dan paradigma kontrak (construc paradigm)
e. Robert K. Merton, memandang paradigma lebih kepada kode etik profesi (keilmuan) yang terdiri dari 4(empat) kategori impresif yaitu universalisme, komunalisme, deteachment, dan skeptisisme terorganisasi.
Hukum yang dilandasi oleh paradigma menghadirkan satu sistem hukum yang tidak demokratis atau sistem hukum yang totaliter, ciri-cirinya adalah sebagai berikut :
1. Sistem hukumnya terdiri dari peraturan yang mengikat yang isinya berubah-ubah sesuai dengan kehendak penguasa yang dibuat secara arbriter.
2. Dengan teknikalitas tertentu, hukum dipakai sebagai kedok untuk menutupi penggunaan kekuasaan secara arbriter.
3. Penerimaan sosial terhadap hukum didasarkan pada kesadaran palsu dan merendahkan derajat manusia.
4. Sanksi-sanksi hukum mengandung pengrusakan terhadap ikatan-ikatan sosial serta menciptakan nihilisme sosial yang menyebar.
5. Tujuan akhirnya adalah suatu legitimasi institusional, terlepas dari seberapa besar tujuan institusional tersebut dapat diterima masyarakat.
Produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintah adalah produk politik. Potret hukum yang diwarnai oleh sistem politik seperti itu, menyebabkan ia hanyalah sebagai alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik. Otonomi politik lebih mendominasi bila dibandingkan dengan yang dimiliki oleh hukum. Akibatnya hukum lebih sering dikesampingkan demi kepentingan politik. Apa yang merupakan hukum adalah merupakan kehendak politik penguasa demi menuruti kemauannya.

No comments:

Post a Comment